Ibu Thursina
tergopoh-gopoh membawa pangupa-nya ke balai desa. Matahari tampak sangat cerah
seakan ikut ber-euforia telah jadinya jembatan desa. Acara diawali
dengan makobar. Makobar adalah istilah untuk duduk bersama dan saling
memberi nasihat. Makobar kali ini diawali oleh Pak Kades.
“Segala puji bagi
Tuhan yang telah merestui kehandiran kita semua di sini, dalam keadaan sehat
jasmani dan rohani. Saya bersyukur akan jadinya jembatan permanen yang tentunya
akan membuka desa ini lebih, kepada publik..”
Petuahnya
diungkapkan selama lebih dari lima menit, sebelum dilanjut oleh orang-orang
penting di desa dengan nasihat bernada serupa. Akhirnya sampailah pada acara
pembukaan. Penari tor-tor menghibur para warga, Thursina pun turut
menyumbangkan suara emasnya. Gelak tawa memenuhi udara, atmosfer ceria terasa
dimana-mana. Semua menari bersama. Acara ini selain untuk syukuran juga untuk
mempererat tali kekeluargaan, dan bagi yang belum saling kenal, acara ini
menjadi tali penghubung yang penting.
***
Dia duduk di depan
rumahnya. Seorang ibu tua tampak kesepian menatap langit. Suaminya masih
bekerja di sawah. Walau sudah berusia senja, namun suaminya masih semangat
bekerja, demi dirinya, istri tercinta. Ketiga anak mereka sudah merantau jauh
ke sana. Walau dalam adat batak harus ada seorang anak yang menemani, tapi
mereka membiarkan anak-anaknya bebas, tidak ingin membebani.
Lewatlah seorang
pria dengan kendaraannya, membawa paket kiriman.
“Paket!” seru pria
itu. Dia turun dan menghampiri sang ibu tua, “Bu, ada kiriman untuk ibu. Tolong
tanda tangani ini, ini, dan ini.”
Wanita tua itu
melakukan apa yang disuruh dan ketika
pria itu sudah meninggalkannya, dia membuka amplop coklat besar tersebut. Ia
mendapati lima buah eksemplar koran dikirimkan kepadanya bersama sebuah surat.
Ia tidak dapat membacanya, sepertinya koran itu diterbitkan dalam bahasa asing.
Dia melihat salah satu nama koran tersebut ‘New York Times’.
Apa itu?
pikirnya. Tapi penasarannya langsung sirna dan rasa rindu datang menyerbu. Foto
seorang perempuan yang membawa sebuah gitar tradisional, senyum yang tidak
asing. Thursina.
Lalu
beliau menyadari, ada salah satu dari koran-koran yang diterimanya berbahasa
Indonesia. Dengan keadaan mata yang sudah rabun dia berusaha membacanya.
“Thursina Nauli Harahap, 23
tahun, berhasil mendapat penghargaan dalam nominasi penyanyi tradisional
terbaik dalam sebuah ajang budaya bergengsi di New York, Amerika Serikat. Gadis
asal Tapanuli Selatan, Sumatra Utara ini mengaku dalam sebuah wawancara, ‘Semua
tak akan bisa terjadi tanpa izin Allah dan tanpa dukungan keluarga saya.
Terutama ibu saya, saya sangat mencintainya, dia pahlawan paling berarti dalam
hidup saya’. Thursina juga berkata bahwa dia akan segera pulang ke kampungnya
dalam waktu dekat.”
Titik-titik air
mata terjatuh. Berjuta rasa syukur ia tunjukkan pada yang Maha Kuasa di atas
sana. Anaknya berhasil, sukses, seperti apa yang pernah ia janjikan.
***
END
Nurul Afifah Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar